Jumat, 20 April 2012

I LOVE YOU

Sesekali aku tersenyum mendengar ceritanya. Nala terdengar bersemangat sekali menceritakan gadis idamannya sore ini. Sambil menikmati coklat panas favoritku, aku masih terus mendengarkan sahabat karibku ini bercerita. Dari kata-katanya ia begitu memuji Anin. Ya, gadis beruntung itu bernama Anin. Coklat panas yang dipesannya kini kian mendingin. Nala masih seru bercerita sampai-sampai aku tak diberinya kesempatan untuk menimpali curhatannya.
“Terus enaknya Anin dikasih apa Din?” Pungkasnya bercerita.
Aku terdiam sejenak mencoba  berpikir sebelum akhirnya bersuara memberinya saran.
“Aku jarang beli kado,” jawabku sambil menggaruk kepala.
“Terus gimana dong?” Nala memanyunkan bibirnya tanda kecewa.
Kami saling diam hingga akhirnya, “gimana kalau beli jam tangan?” Kataku spontan.
Aku ingat Anin termasuk cewek modis jadi kurasa usulku kali ini tepat.
Nala tersenyum cerah mendengar ideku. Tanpa tempo ia lantas berdiri dan menarik tanganku. Mengajakku berdiri meninggalkan café ini.
Aku mengikuti langkahnya tanpa tahu kemana ia mau mengajakku.
Beberapa menit kemudian motor yang kami tumpangi berbelok memasuki halaman parkir salah satu took arloji terkenal di Jogja. Setelah memarkirkannya Nala menggamitku mengajak masuk ke took tersebut.
“Sekarang pilihin jam tangan yang menurutmu bagus,” pintanya padaku.
Aku mengangguk, “ok bos,”
Disela-sela memilih aku jadi ingat, bukankah ini mau dikasihkan ke Anin? Kenapa aku yang memilih?
“Eh Nal, tunggu dulu deh, kayanya lebih baik kamu milih sendiri kan ini untuk Anin, dia pasti lebih suka jika kamu yang memilihkannya,”
 “Tapi swear aku nggak bisa milih kalau ini menyangkut yang berbau cewek,”
Mendengar jawabannya aku mendengus kesal. Percuma, Nala tetap nggak akan mau milih kalau sudah bilang begini.
Aku kembali sibuk melihat-lihat jam tangan yang terpajang nyaris di seluruh etalase. Akhirnya aku menemukan dua yang kurasa paling cantik. Satu berwarna silver dan satunya lagi berwarna gold.
“Kamu milih yang mana?” Ujarku seraya menunjukkan dua buah jam tangan pilihanku padanya.
Alisnya berkerut, Nala tampak berpikir untuk memilih salah satu darinya.
“Yang gold aja, cantik,” katanya disertai senyum mengembang.
Kemudian aku menunggu Nala membayar jam itu di kasir. Kalau boleh jujur aku agak iri dengan Anin. Walaupun dia bukan kekasih Nala, tapi seakan-akan Nala selau memanjakannya seperti sore ini aku harus menemaninya bahkan memilihkan kado untuk Anin.
“Heh, kok ngelamun ayo pulang,” Nala membuyarkan pikiranku yang kosong sesaat.
“Eh ya, udah?” jawabku dengan nada kaget.
“Udah, mikir apa sih? Sampai nggak sadar gitu?”
Aku tertawa, “mikirin kamu,”
Dia tertawa mendengar ucapanku.
Mungkin Nala mengira aku hanya bercanda, padahal apa yang aku katakan barusan memang benar-benar terjadi. Aku memikirkan dia, ya dia sahabat baikku yang kucinta.
****
Aku memicingkan mata. Dering hpku sungguh mengganggu. Sambil mengumpulkan kesadaran, aku melirik jam di meja belajarku. Masih pukul dua belas lebih. Kuraih hp yang membangunkanku beberapa saat lalu.
“Malam-malam begini Nala sms?” Tanyaku dalam hati.
Dengan gerakan ibu jari yang lincah isi sms tersebut segera tertera di layar handphoneku.

Selamat Ulang Tahun manisku, you’re the best in my life, be smarter, more beautiful dan wise,
Sahabat tersayangmu “Nala”
Pengirim : Nala
07/01/12 00:01
Aku tertegun membaca isi smsnya. Ini tanggal tujuh, ini hari ulang tahunku, dan bodohnya aku lupa bahkan tak sadar. Aku tersenyum senang. Dia yang pertama mengucapkan selamat di hari jadiku. Masih dengan senyum aku kembali merebahkan tubuhku dan menarik selimut. Aku tertidur dengan perasaan penuh sukacita.
Ada seseorang yang familiar duduk bersama ayah, ibu di ruang makan. Dengan senyum khasnya Nala menyambutku.
“Hei kok pagi-pagi udah kesini? Di rumah nggak ada makan ya?” celetukku sambil duduk di kursi meja makan.
“Iya nih Din, om, tante Nala numpang sarapan ya,”
“Iya silakan mau makan sebanyak mungkin boleh,” ibu tersenyum padanya.
Aku menyuapkan nasi goreng ke mulutku. Lalu setelah itu bersama Nala aku berpamitan untuk berangkat kuliah. Sepanjang perjalanan menuju kampus kami asyik berbincang tentang banyak hal. Sesekali tertawa saat mendengar kata-katanya yang mengocok perutku. Saking asyiknya, aku tak sadar saat tikungan menuju kampus kami ia lewati. Harusnya motor ini berbelok, tapi Nala justru membawanya lurus.
“Lhoh kita mau kemana Nal?” tanyaku saat sadar arah motor ini tak menuju kampus.
“Jalan-jalan, mumpung kamu lagi ulang tahun” jawabnya santai.
“Eh aku ada kuliah jam Sembilan, jangan aneh-aneh dong,”
“Udah diem aja aku udah izin sama ayah ibumu kok,”
“Lhoh?”Aku pun memilih diam. Sekitar empat tiga puluh menit kemudian aku dibuatnya tertegun dan terpesona. Aku belum pernah kesini sebelumnya, bahkan aku tak tahu apa nama tempat ini.
“Bagus kan viewnya?” Nala tersenyum melihat aku terpesona.
“Heem, ini pantai apa?” aku masih terpana dengan panorama pantai di hadapanku.
“Katanya pengen kesini? Gimana suka?”
“Ini Indrayanti?” Aku melonjak girang. Dia mengangguk.
Hari sudah semakin siang saat kami bertelanjang kaki menyusuri pantai indah ini. Apa yang aku rasakan hari ini sungguh tak bisa aku gambarkan. Aku senang sekali bisa bersama Nala di tempat ini. Entah apa yang sedang bergejolak dalam dada, aku merasa ada hal yang berbeda. Aku tersenyum sendiri menyadari perasaan ini, tapi  aku juga pengecut untuk mengakui apa yang aku tahu.
“Dinda,” panggilnya merusak lamunanku. Aku menoleh kepadanya. “Ada sesuatu untukmu,” lanjutnya. Kemudian ia mengeluarkan kotak kecil berwarna coklat dari tas kuliahnya, lalu diserahkannya padaku.
“Apa ini?” Tanyaku seraya menerima kotak itu.
“Buka aja”
“Bukan bom?” Nala tertawa mendengar pertanyaanku.
Perlahan aku membukanya. Beberapa detik kemudian aku tersenyum senang. “Ini kan jam yang kemarin aku pilih?”
Nala mengangguk.
“Katanya untuk Anin? Anin nggak suka ya?”
“Kata siapa? Ini sengaja kubeli untuk kamu. Kemarin aku menyuruhmu memilih agar aku nggak salah ngasih kamu kado,” ujarnya dengan senyum simpul.
Aku senang sekali dengan kadonya. Nala selalu punya cara unik untuk membuatku bahagia, seperti hari ini. Andai dia tahu, sikapnya inilah yang membuatku sering bingung dengan getar-getar yang tiba-tiba hadir bersama senyumnya.
***
Sejak kado dan kejutan yang Nala berikan tempo hari membuatku semakin bias merasakan apa yang sedang terjadi dalam hati. Akibatnya beberapa mala mini aku sering tidur larut dan selalu memimpikannya. Semua ingatan tentang Nala kian gila menyerang ingatanku. Seakan-akan setiap rongga otakku diisi oleh semua tentangnya. Seperti malam ini aku gelisah sendiri, baru pada jam dua dinihari mata ini akhirnya terpejam. Lagi-lagi Nala hadir dalam mimpiku.
Hal pertama yang kulakukan saat bangun tidur adalah meraih hp kesayanganku. Mata ini masih berat rasanya, sambil mengucek aku berusaha membaca pesan yang tertera dalam layar hpku. Ada pesan dari Nala. Aku tersenyum lalu segera membalas smsnya.
Sore ini aku sudah berjanji untuk menemaninya hunting foto di kawasan nol kilometer. Nala sibuk menjepret berbagai obyek menarik dan aku diam menungguinya duduk di bangku tepi jalan. Entah mengapa menunggunya seperti ini menjadi hal yang sangat menyenangkan bagiku. Aku tersenyum sendiri. Ah aku semakin tak bias berkelit, ada cinta dalam hatiku.
Nala berjalan mendekat kepadaku. Kuserahkan botol air mineral untuk cowok berkulit kuning langsat itu.
“Terima kasih cantik,” katanya seraya menyerahkan botol itu kembali. Aku hanya membalasnya dengan senyum simpul.
“Kamu kenapa sih sekarang banyak diam dan ngelamun,” ujarnya sambil mengamatiku yang sedari tadi diam.
“Nggak kok,”
“Kalau jatuh cinta sama cowok, ngomong aja. Nggak perlu disimpen dalam hati,”
Aku menoleh kearahnya. “Tapi aku cewek,” jawabku.
“Ini udah era millennium, emansipasi, kenapa tidak,” lalu ia beranjak.
Andai Nala tahu siapa cowok yang membuatku begini. Dia adalah kamu, Nala.
***
Aku memikirkan apa yang Nala katakana tempo hari. Benar, kenapa aku harus menyimpannya? Bukankah cinta itu tak pernah salah? Lagipula aku dan Nala sudah lama bersahabat. Aku yakin Nala tak akan marah dengan pernyataanku. Aku tak butuh status pacaran atau lainnya. Bagiku menjadi sahabatnya selama ini sudah lebih dari cukup. Oke aku harus bilang pada Nala tentang semua ini. Aku tersenyum lalu meraih hpku dan mengirim sms mengajaknya makan di luar malam nanti.
Jam di atas meja belajarku menunjukkan pukul tujuh saat suara motor Nala memasuki halaman rumahku. Setelah itu aku bergegas menemuinya kemudian kami berpamitan dengan ayah dan meluncur menuju tempat makan yang sudah kami sepakati. Beberapa menit kemudian motor yang kami tumpangi diparkir tepat di depan warteg japanese food di kawasan Jalan Kaliurang. Nala langsung. Pikiranku tengah sibuk memikirkan kata apa yang tepat untuk mengatakan semua ini. Darahku berdesir lebih cepat.
“Kamu kenapa sih Din?” Nala mengamatiku dengan tatapan menyelidik. Aku tersenyum kaku. “Oh ya kamu mau ngomong apa Dinda?”
Aku diam menunduk tak menjawab pertanyaannya.
“Tuh kan malah diam? Nggak usah nervous donk atau gimana kalau aku dulu yang cerita?”
Aku mendongak, “kamu cerita apa? Yaudah kamu dulu aja,” kataku seraya menymbunyikan rasa gugup.
“Din, tadi siang aku jadian sama Anin,” ujarnya dengan mata berbinar, wajah ceria, dan senyum mengembang.
“Glekk....” aku menelan ludah. “Nala jadian?” Tanyaku dalam hati.
Aku memejamkan mata dan menghembuskan nafas berat. Harus kupangkas semua ini. Aku tersenyum padanya berpura-pura turut bahagia. Kalau kamu tahu apa yang aku rasa, pilu itu luar biasa beradu dengan bahagia melihat sahabat terbaik kita bahagia. Aku tak boleh egois. Otomatis kuurungkan niatku menyatakan perasaan. Aku rela Nala bahagia dengan dia, selain aku. Namun bila aku diberi kesempatan aku ingin mengatakan padanya “I LOVE YOU”. Lalu pesanan kami datang, Nala melanjutkan ceritanya dengan penuh semangat seperti biasa.

0 komentar:

Posting Komentar