Dari kejauhan Dini memandang seseorang yang sedang tertawa
renyah bersama kawannya. Jam pulang sekolah baru saja berdenting, dan semua
siswa sudah berhamburan meninggalkan kelas. Dini sengaja keluar kelas lebih
akhir. Ada satu kebiasaan yang harus ia lakukan hari ini juga, mencuri pandang
pada sosok di sana. Ia tersenyum simpul menikmati apa yang dilakukannya.
Kebiasaan yang tak pernah bias ia tinggalkan. Menikmati wajah pujaan hatinya
walau hanya dari kejauhan, walau hanya sekilas saja, tapi ia sangat menikmati
bahkan kecanduan.
“Heh, kok belum turun, ngeliatin siapa sih Din?” tepukan di
pundaknya membuat jantungnya nyaris meloncat.
“Ngagetin aja, iya ini lagi mau turun,” lalu dengan sekilas
pandang lagi, ia menyudahi kebiasaannya dan turun bersama temannya.
***
Kelas tiga SMA, kelas paling sibuk bagi Dini. Meskipun ini
masih awal tahun ajaran baru, namun gadis ini nampaknya sudah sadar pada
kewajibannya sebagai pelajar. Sejak habis isya’ tadi dia terus menekuni
buku-buku pelajaran. Kini jam dinding berwarna coklat di kamarnya telah
menunjukkan pukul Sembilan. Dini mengangkat wajahnya dari rentetan tulisan
dalam bukunya. Ia menguap panjang sembari merenggangkan otot-otot tubuhnya.
Matanya memandang laptop berwarna hitam yang tergeletak di tempat tidurnya.
Dini beranjak dari meja belajar.
google.com |
Dengan satu sentuhan gadget itu dinyalakannya. Dini mengklik
ikon my document lalu my picture. Sejurus kemudian wajahnya memurung. Foto-foto
di layar laptop itu sepertinya menjadi penyebab gadis ini berwajah mendung. Ia menghela
nafas panjang. Lalu beranjak dan berdiri di dekat jendela. Spot paling
favoritnya, ia membuka sedikit gordyn di depannya. Rupanya sama, sepertinya
langit juga tengah mendung. Bintang yang diharapkannya mampu memberi sedikit
cahaya baginya kali ini tak tampak. Baru saja ia menghela nafas berat lagi,
gerimis dengan pelan turun membentuk hujan. Alam tahu apa yang tengah dirasakan
gadis itu.
Ia menoleh kearah layar laptopnya. Wajah seseorang dengan
senyum khas itu membuatnya menelan ludah miris. Ada kesakitan yang tak ia tahu
dari mana asalnya. Pikirannya melayang pada bulan-bulan sebelumnya. Pada bulan
saat mereka masih bisa tertawa bersama. Saat mereka masih bebas berbagi cerita.
Saat mereka belum menyadari perasaan satu sama lain. Saat canggung belum ada.
Saat mereka masih sama-sama sendiri, bukan seperti saat ini saat wajah dengan
senyum itu sudah menjadi milik orang lain.
“Andai aku tahu perasaan kita sama sebelum aku bersamanya,”
Dini mengingat ucapan Arman beberapa waktu lalu.
“Terus?” tanyanya polos kala itu.
“Mungkin aku memilih kamu,” Arman melirik kepadanya. Matanya
mengisyaratkan bahwa kata-katanya bukan gombalan semata.
Dini membuang muka.
“Kamu tak pernah menunjukkan bahwa kamu juga punya rasa
seperti aku,” Arman memandang lepas taman bunga di hadapan bangku tempat mereka
duduk.
“Kamu selalu marah saat teman-teman menjodohkan kita. Kamu
selalu bilang enggak ketika mereka mendo’akan kita bersama,”
Dini masih diam.
“Tapi yasudahlah Din. Mungkin aku kurang tepat bagimu,
makanya kita tidak bersama-sama sebagai sepasang kekasih,” ucapnya dengan
senyum getir.
“Kenapa kamu ngomong gitu?”
“Aku, kamu, bahkan tak pernah tahu soal jodoh Din. Aku belum
tentu berjodoh dengan Maya, aku juga belum tentu berjodoh denganmu, tapi bisa
juga justru kita akan dipersatukan suatu hari nanti. Kita tak pernah tahu kan?”
“Aku semakin bingung,”
“Maksudku, kalau jodoh pasti kita akan bersatu pada waktu,
pada ruang, pada situasi yang lebih baik dari ini,” kali ini senyumnya tampak
menguatkan.
Dini mengangguk. “Jaga yang kamu miliki saat ini Arman.
Kurasa kalau kamu bisa menjaganya dengan baik, bukan tak mungkin kalian bisa
berjodoh,”
Arman mengangguk dan tersenyum, “tapi kita masih bisa
sahabatan kan? Deket sebagai sahabat?”
“Sure Arman,” Dini tersenyum.
Petir diluar terdengar begitu keras memekakkan telinga
membuat lamunan gadis itu terputus. Dia kembali memandang foto di layar monitor
laptopnya dari kejauhan. Lalu dengan langkah mantap dia kembali melihatnya
lebih dekat. Kemudian beberapa foto Arman di hapusnya.
“Bukankah semua sudah berlalu? Bukankah kamu sudah milik
orang lain? Aku tak bisa begini terus Arman. Maaf ya, foto ini harus kuhapus.
Aku mau melangkah, tidak stagnan,” katanya sendiri. Lalu jemarinya menekan
tombol ctrl+del.
#np: Ari Lasso -Cinta Sejati-
Aku jatuh cinta padamu
Sejak pertama kita bertemu
Diam menghuni relung hati
Kau tak pernah perduli
Tuhan mengapa kau anugerahkan
Cinta yang tak mungkin tuk bersatu
Kau yang telah lama kucintai
Ada yang memiliki
Cinta sejati
Tak akan pernah mati
Selalu menghiasi ketulusan cinta ini
Jalan hidup telah membuat kita
Harus senantiasa bersama
Lewati Segala suka duka
Tiada cinta bicara
Sejak pertama kita bertemu
Diam menghuni relung hati
Kau tak pernah perduli
Tuhan mengapa kau anugerahkan
Cinta yang tak mungkin tuk bersatu
Kau yang telah lama kucintai
Ada yang memiliki
Cinta sejati
Tak akan pernah mati
Selalu menghiasi ketulusan cinta ini
Jalan hidup telah membuat kita
Harus senantiasa bersama
Lewati Segala suka duka
Tiada cinta bicara
Dan kau
Selalu hanya diam membisu
Meskipun engkau tahu
Batapa dalam cintaku
Aku jatuh cinta padamu
Selalu hanya diam membisu
Meskipun engkau tahu
Batapa dalam cintaku
Aku jatuh cinta padamu
*Hidup adalah sebuah proses dan pilihan. Dalam berproses itu
kita pasti akan dihadapkan oleh berbagai pilihan misalnya, soal asmara. Ketika
kita terjatuh dalam cinta, keputusan untuk berdiri kembali atau tetap terjatuh
itu adalah pilihan diri kita pribadi. Pandailah menyikapi hidup, jangan kalah
oleh situasi.
0 komentar:
Posting Komentar